Siapa yang tak kenal Edam Burger? Bila Anda kebetulan berbelanja di Alfamart atau Indomart, kemungkinan besar akan menemui gerai burger ini. Di sebagian besar Alfamart dan Indomart, memang selalu ada Edam Burger, khususnya di Jabotadebek. Edam ada di mana-mana dan menjelma menjadi jaringan burger paling luas di Indonesia. Edam bahkan bisa disebut sebagai ikon burger kelas menengah bawah di Indonesia. Bayangkan, outlet-nya kini sudah menyentuh angka 3.000. Wirausahawan sukses yang melahirkan Edam Burger itu tak lain adalah Made Ngurah Bagiana, pria kelahiran Bali, 1956, yang memulai bisnis burger secara tidak sengaja pada 1990.
Ada sejumlah pikiran dan penggalan pengalaman Made Ngurah Bagiana yang layak dijadikan sebagai
inspirasi sukses. Di antaranya adalah kemauannya untuk selalu berinovasi dan berani fokus pada satu bidang. Rupanya, itulah kunci sukses Made bersama Edam Burger. Berikut petikan hasil wawancara reporter Pembelajar.com, Dodi Mawardi, yang versi pendeknya khusus dimuat untuk INFO APLI.
Bagaimana ceritanya bisa berbisnis burger?
Sepertinya tak ada usaha yang mudah saat itu. Semuanya dimulai dengan modal apa adanya. Saya teringat, waktu itu keluarga saya kesulitan ekonomi. Untuk makan saja sepertinya sudah pas-pasan. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger di depan rumah saya di sekitar Perumnas Klender. Saya pikir, tak ada salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya, saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor. Belakangan, giliran bankbank itu yang mengejar saya ha ha ha.
Lalu kenapa namanya Edam?
Awalnya bukan Edam. Dulu saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah. Tapi, kemudian berubah jadi Edam. Itu nama pemberian dari Bob Sadino. Saya bernama Made, istri saya pun bernama Made. Oleh Pak Bob, diberi nama “Edam” yang artinya, ya, Made kalau dibaca dari kanan ha ha ha.
Bagaimana Edam bisa tersebar di mana-mana?
Wah ceritanya panjang. Banyak suka dan duka yang saya alami. Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri. Padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah. Tahun 2000-an lah yang menjadi titik awal perubahan Edam. Ya sejak kenal dengan Bob Sadino lalu bekerja sama dengan Bogasari, Edam makin cepat berkembang. Saya pun mengajak banyak orang untuk bergabung sebagai mitra.
Kok bisa harga Edam lebih murah dibanding burger yang lain?
Burger ini kan makanan dari barat dan diposisikan di kelas atas. Dia tidak memosisikan di menengah dan ke bawah. Setelah saya coba ternyata cost-nya ini murah. Ini strategi pemasaran yang dianggap salah, tapi dibenarkan masyarakat. Bahkan di perkampungan di gang-gang itu Edam bisa hidup. Saya bikin roti Cuma 500 perak, daging 700 perak. Beserta bumbu dan sayurnya cuma 2.000 perak. Kita mau cari untung 1.000 perak saja cuma 3.000. Jadi, mengapa dijual 10.000 perak? Jadi, saya memosisikan ini buat masyarakat di bawah.
Anda menggunakan konsep yang mirip waralaba, sebelum konsep ini marak di Indonesia. Belajar dari mana?
Wah awalnya saya ndak tahu istilah itu. Saya hanya jalan saja, lakukan saja. Ndak pakai mikir-mikir yang panjang. Waktu itu untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah.
Anda sering menyebut waralaba ini sebagai franchise Pancasila. Apa maksudnya?
Saya hanya berikan keadilan bagi yang punya modal besar, modal kecil, bahkan tidak punya modal. Jadi, saya sudah menjalankan sila kelima. Franchise Pancasila ini tidak ada di mana pun di dunia ini. Kalau yang namanya franchise itu kan aturannya baku. Misalnya Rp10 juta dan ada orang tidak punya uang segitu, ya tidak bisa. Kalau di sini ada yang mulai dari paket seharga Rp15 ribu. Kalau tidak punya yang dua juta, maka bisa ambil counternya saja. Kompor gas pakai punya sendiri. Nah, di sinilah kekuatan Edam, hingga tiap kabupaten minta.
Anda menyebut Edam Burger sebagai burger dengan cita rasa Indonesia. Seperti apa sih kongkritnya?
Ya, sulit menjelaskannya, harus mencoba. Tapi, sebagai contoh saya punya rasa burger di tiap wilayah berbeda. Saya bikin burger di Yogya agak manis. Kalau di Padang agak pedas. Jadi, ikuti selera penduduk setempat. Itu inovasi saya.
Jadi sekarang berapa jumlah gerai Edam?
Wah saya sendiri ndak tahu persis. Nggak sempat ngitung. Tapi hampir di semua kabupaten ada Edam.
Setiap hari selalu ada permintaan. Saya juga ke sana ke mari berkeliling.
Berkali-kali Edam mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Apa maknanya buat Anda?
Jujur saja, saya tak pernah memimpikan bakal punya usaha sebesar ini. Dulu, ketika memulai, saya hanya memodalkan dua gerobak roti burger dengan modal apa adanya. Karena saya ulet, akhirnya usaha saya selama 17 tahun ini membuahkan hasil. Saya merasa ini sebagaikarunia Tuhan yang patut saya syukuri.
Apa kunci sukses Anda?
Kuncinya tak banyak. Cukup fokus pada satu bidang, yaitu menjual roti burger berkualitas tinggi dengan harga terjangkau, ulet meluaskan pangsa pasar, dan menjaga hubungan dengan para pelanggan. Saya yakin dengan filosofi menabur dan menuai. Siapa yang menabur kebaikan, pasti berbuah kebaikan juga. Saya juga tidak pernah malu dan gengsi mengerjakan apa pun asal halal dan terhormat. Bagi saya, kesuksesan itu seperti pintu yang bisa dilewati siapa saja, asal orang itu punya komitmen terhadap usahanya.
Edam sudah besar dan berbiak kemana-mana. Anda masih punya impian apalagi?
Saya ndak tahu mau apa nanti. Yang saya dapat ini juga tidak saya rencanakan. Edam ini kan bergerak di bidang makanan. Dan, makanan itu kan tidak pernahberhenti. Di situ kan banyak potensi. Potensinya itu orang. Kalau saya punya usaha roti, maka potensinya adalah orang yang memakannya. Ke depannya saya akan mengurusi orang makan. Entah apa atau apa itu akan mengalir dan nanti seleksi alam. Harapan saya, di sini kan saya usaha burger. Dan ada roti, sayuran, dan daging. Di sini ada komposisi mineral karbohidrat dan protein. Ini agar orang-orang itu mengonsumsi makanan yang berprotein, mineral, dan karbohidrat. Jangan sampai kayak di Bogor banyak sayur, tapi orang Bogor kurang makan sayur. Ke depan saya ingin paling tidak orang Indonesia makan burger sebulan sekali lah. Tidak usah seminggu sekali.[dw]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar