Selama ini, pohon masih lebih menguntungkan saat sudah berbentuk
potongan kayu daripada waktu masih menjadi tumbuhan hidup. Tetapi,
perempuan-perempuan di dekat lokasi penimbunan sampah Buffelsdraai,
Durban, Afrika Selatan, menjadi bukti bahwa mereka bisa mendapat untung
besar justru dengan menumbuhkan pohon.
Lewat program penghutanan
kembali dari pemerintah eThekwini atau Durban, para perempuan pengusaha
hutan ini menjual bibit-bibit pohon pada pemerintah kota.
Bayaran
yang mereka dapat bukanlah uang, melainkan kupon yang bisa mereka
gunakan untuk membeli bahan makanan sehari-hari, perabot rumah tangga,
uang sekolah, pakaian, sampai bahan bangunan.
Program
penghutanan kembali ini muncul sebagai usaha menyerap 307 ribu ton jejak
karbondioksida dari penyelenggaraan pertandingan Piala Dunia 2010 di
kota tersebut.
Jejak karbondioksida itu adalah akibat emisi dari
penerbangan yang digunakan oleh puluhan ribu penonton Piala Dunia,
kebanyakan datang dari Eropa, ke Afrika Selatan, lalu kembali ke Eropa.
Untuk menyerap emisi karbondioksida tersebut, pohon-pohon pun ditanam.
Sebagai
tempat penanaman
, Pemerintah Kota eThekwini (Durban) membeli lahan
seluas 800 hektar bekas ladang tebu dari seorang pemilik perkebunan
tebu. Lahan yang harus ditanami pohon ini sekaligus merupakan zona
penyangga antara kota dengan lokasi akhir pembuangan dan penimbunan
sampah (landfill site).
Selain untuk menyerap jejak karbon Piala
Dunia 2010, proyek yang sudah dimulai sejak 2008 ini juga dimaksudkan
untuk memperbaiki kualitas air dan memberi lapangan pekerjaan penduduk
sekitar.
Setelah lahan dibeli, pemerintah kota mempekerjakan
penduduk di sekitar area tersebut untuk menanami kembali kawasan bekas
ladang tebu dengan pohon-pohon varietas lokal. Sekitar 80 persen dari
penduduk di kawasan Buffelsdraai adalah pengangguran. Maka, proyek
pembibitan dan penanaman pohon ini pun kini menjadi pekerjaan utama
mereka.
Para perempuan pengusaha pohon ini mengumpulkan
bibit-bibit pohon dari sekitar 200 varietas yang ada di kawasan
tersebut. Selanjutnya, bibit-bibit pohon itu dibesarkan menggunakan
ember atau plastik. Setelah bibit-bibit ini mencapai ketinggian
tertentu, para penanam pohon pun bisa menjualnya ke pemerintah kota.
Jika
bibit pohon yang ditumbuhkan oleh para pengusaha pohon ini mencapai
tinggi 30 cm, maka bayarannya adalah 5 rand (Rp 5300) per pohon. Jika
pohonnya mencapai tinggi 60 cm, para pengusaha pohon ini akan dibayar Rp
8 ribu rupiah (atau 7,5 rand), dan 10 rand (Rp 10.600) jika pohon yang
dijual ke pemerintah kota mencapai ketinggian 1 meter.
Salah
satu perempuan pengusaha ini, Nokuthula Gcabashe, bisa menumbuhkan
sampai 2000 pohon per tahun. Dengan skema tersebut, kurang lebih ia bisa
memperoleh 1900 rand setiap bulannya (sekitar Rp 2 juta). Tentu ini
jumlah yang lumayan daripada saat ia tak memiliki penghasilan. Uang yang
didapat Nokuthula dari menumbuhkan pohon, ia gunakan untuk biaya
bersekolah.
Menurut Nokuthula saat ditemui beberapa waktu
lalu di Durban, mayoritas pengusaha pohon ini adalah perempuan. Dari
202 orang yang terlibat, hanya 5 pria yang memilih pekerjaan ini. “Dan
mereka bukan pekerja keras, hanya bekerja biasa saja,” katanya.
Setidaknya dibanding para pengusaha pohon perempuan yang, menurut dia,
kebanyakan bekerja sangat keras.
Karena sudah terlibat sejak
2008, Nokuthula kini menjadi fasilitator bagi para pengusaha pohon
lainnya. Pada mereka yang ia latih, Nokuthula selalu berpesan, “Dua hal
penting di dunia ini, pendidikan dan rumah. Kamu harus bekerja untuk
mendapatkan dua hal itu terlebih dahulu sebelum kamu bekerja untuk
mendapat makanan.” Menanam pohon buat Nokuthula adalah kesempatannya
untuk bisa membiayai pendidikan dan memperbaiki rumah tinggal.
Sementara,
Ziningi Gcabashe adalah ‘bintang utama’ proyek ini. Perempuan, menurut
Ningi, tertarik ikut pada proyek penanaman ini untuk mendapat uang.
“Ketika para pria kami kabur dari rumah, perempuanlah yang harus memberi
makan anak-anak. Dari mana dapat uang?”
Ningi adalah salah satu
pengusaha pohon angkatan pertama. Awalnya, hanya 20 penanam bibit pohon
yang terlibat. “Kami hanya diberi tahu bahwa dengan menanam pohon, kami
bisa membeli makanan. Awalnya orang-orang tidak percaya, tapi ternyata
benar.”
Sebelumnya, orang-orang tidak tahu makanan apa yang bisa
mereka sajikan untuk anak-anak di rumah. Sekarang, para perempuan
pengusaha pohon ini bisa membiayai anak-anaknya sekolah, bahkan sampai
tingkat universitas.
Setiap orang kemudian bisa menambah jumlah
pohon yang akan mereka besarkan sesuai dengan kebutuhan keuangan mereka.
“Kebutuhan kamu apa dulu? Sekolah? Bahan bangunan? Baru dari situ kamu
bisa menghitung berapa pohon yang bisa kamu tambah untuk bisa memenuhi
kebutuhan itu.”
Ningi sendiri bisa membiayai kursus mengemudi dan
pembuatan SIM-nya dari usaha menanam pohon, yaitu mencapai 5000 rand
(Rp 5,3 juta). “Sebelum proyek ini, saya sama sekali belum pernah
menyentuh mobil,” kata Ningi. Dari 2008, saat pertama kali ia menjadi
penanam pohon, sampai sekarang, Ningi sudah menjual 15 ribu pohon.
Direktur
Perlindungan Iklim di Unit Pengelolaan Lingkungan dan Perencanaan Kota
Pemerintahan Regional Durban Sean O’Donoghue mengatakan proyek penanaman
kembali Buffelsdraai dianggap sukses. Kini, proyek ini menjadi
percontohan buat skala nasional. “Rencananya, akan diterapkan di
wilayah-wilayah lain di Afrika Selatan.”
Hal yang paling menarik
dari proyek ini adalah bahwa pemerintahlah yang membeli tanah dari pihak
perseorangan untuk kemudian ‘menyerahkannya’ lagi ke masyarakat untuk
dikelola.
Pemerintah memberdayakan masyarakat sekitar yang
miskin dan tidak memiliki pemasukan untuk menjadi penanam pohon dengan
bayaran yang layak. Masyarakat pun jelas-jelas terdongkrak tingkat
kesejahteraan ekonominya.
Perempuan-perempuan seperti Ziningi
dan Nokuthula, yang awalnya ‘hanya’ penanam pohon, bisa menjadi
fasilitator dan pelatih hanya dalam jangka waktu tiga tahun.
Bandingkan
dengan pengelolaan hutan-hutan di Indonesia. Meski semua hutan di
Indonesia adalah milik pemerintah, hak pengelolaannya justru diberikan
pada pengusaha perkebunan skala besar. Jarang sekali penduduk sekitar
perkebunan menangguk untung dari usaha yang ada di sekitar rumah mereka.
Bukannya untung, yang lebih sering terjadi di Indonesia malah berbagai
konflik soal lahan.
Para perempuan pengusaha pohon di
Buffelsdraai, Durban ini menjadi bukti bahwa ada sebuah model ekonomi
yang memungkinkan negara berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil. Bukan
hanya untuk kesejahteraan pengusaha skala besar saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar